Jumat, 30 Maret 2012

“Bangunan serupa piramida itu diduga telah didirikan sejak zaman prasejarah.”


Dahulu kala, seluruh badan Candi Borobudur tertimbun oleh tanah dan abu vulkanik dan terlihat hanya sebagai bukit yang menyerupai piramid. Setelah dibongkar, terlihatlah sebuah Candi Buddha terbesar di dunia tak terkalahkan hingga kini.
Menurut National Geographic, bentuk Candi Borobudur adalah piramid, sama seperti piramid di Giza Mesir dan piramid Kukulcan di kompleks Chichén Itzá Mexico.
Masih menurut National Geographic, ada beberapa bangunan kuno berbentuk piramid di dunia yang belum terbongkar. Sejarah candi Borobudur tersebut adalah suatu bukti yang NYATA atas bukit piramid dimasa lalu

Tim studi bencana katastropik purba merekomendasikan lokasi yang terdapat bangunan serupa piramida di daerah Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebelumnya, hal serupa pernah diajukan atas beberapa lokasi di Jawa Barat. (baca:Ternyata, Indonesia memiliki beberapa Piramida!)
Erick Ridzky, koordinator tim peneliti katastropik purba, menyatakan ada penemuan tiga jenis lapisan bencana dengan risiko dan materi berbeda. Penemuan itu juga menunjukkan adanya lapisan tiga peradaban dari zaman yang berlainan.
“Setelah melakukan riset di Gunung Putri, Gunung Kaledong, dan Gunung Haruman, Jawa Barat, kami melangkah ke Trowulan, yang merupakan kompleks kerajaan Majapahit dan menemukan proses penimbunan akibat bencana dalam beberapa periode,” ungkapnya.
Tim Bencana Katastropik Purba yang diinisiasi Kantor Staf Khusus Presiden dan tim ahli gempa, Tsunami, dan ahli geologi bekerja untuk memperkuat kebutuhan data, dan katalog kebencanaan terhadap kebutuhan pokok mitigasi bencana.
Di kawasan Trowulan, yang mencakup luas 9 km x 11 km, dugaan pelapisan peradaban prasejarah teridentifikasi di bagian paling bawah. Sementara, bagian tengah ditaksir terjadi sekitar abad ke-9. Lapisan paling atas merupakan abad ke-12.
Radar Penembus Tanah atau Ground Penetrating Radar (GPR). (courtesy: wikipedia)
“Hasil analisa batuan kemudian ditambah dengan hasil citra Radar Penembus Tanah atau Ground-penetrating radar (GPR).
Pendekatan struktur geologi dari foto udara menunjukkan adanya jajaran parit yang kami teliti. Hasilnya mencengangkan,” ujarnya.
Parit tersebut secara konsisten, baik dari analisa GPR dan hasil coring, memperlihatkan lapisan bata pertama ada di kedalaman 0.8 mtr, dan kedua pada kedalaman 2.5 meter.
Setelah kedalaman 2.5 meter, selalu ditemukan lapisan kerakal berangkal yang tidak bisa ditembus oleh bor.
Buatan ManusiaDalam pernyataan tertulis  Sabtu, 5 November 2011, Erick menyampaikan dugaannya atas bangunan yang diduga buatan manusia di Yogyakarta dan Kediri.
Bangunan itu, menurutnya, menyerupai piramida atau candi yang diduga didirikan pada era prasejarah.
“Pada Bukit Klothok di Kediri, gundukan Candi Ijo berbah Sleman, kami menduga kuat ada bangunan prasejarah yang seni bangunannya menyerupai candi atau piramid,” tegasnya.(Sabtu, 5 November 2011/ren/vivanews/icc.wp.com)

Rabu, 28 Maret 2012

Bangunan Rahasia 100 Meter di Gunung Padang?


Diduga peradaban Indonesia sudah maju pada 4.700 Sebelum Masehi. Bukan primitif.

VIVAnews - Penelitian bencana purba yang dilakukan Tim Katastrofi Purba berujung pada penemuan kunci rahasia peradaban kuno Indonesia yang terpendam di dalam tanah.

Apa kaitan bencana dengan peradaban purba? Koordinator tim sekaligus, Staf Khusus Kepresidenan bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief mengatakan, berdasarkan hasil penelitian di Banda Aceh, Batujaya, dan Trowulan, terlihat adanya keterkaitan antara sejarah peradaban dan bencana alam.

"Apabila masyarakat tahu tentang bencana masa lalu yang pernah menghancurkan negerinya seperti kejadian tsunami Aceh pada Abad ke-14 dan 15 maka tidak akan terjadi banyak korban seperti (tsunami) pada tahun 2004 yang banyak disebabkan oleh ketidaktahuan ini," kata dia, dalam hasil sarasehan yang diterima VIVAnews.com, Senin 13 Februari 2012.
Sarasehan bertajuk "Mengungkap Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di Nusantara untuk Memperkuat Karakter dan Ketahanan Nasional" itu dilaksanakan di Gedung Krida Bhakti, Sekretariat Negara, pada 7 Febuari 2012 lalu.
Hasilnya, seperti disampaikan oleh anggota Tim dua geolog kawakan Dr Danny Hilman dan Dr Andang Bachtiar yang lalu diteruskan oleh Andi Arief kepada VIVAnews, terkuak adanya kearifan purba, terkait antisipasi bencana akibat guncangan gempa. Misalnya, apa yang terlihat di situs Gunung Padang.
"Adanya hamparan pasir di kedalaman 3-5 meter di bawah Situs bagian atas boleh jadi merupakan warisan 'kearifan masa lalu' dalam mengantisipasi bencana akibat guncangan gempa," kata Andi. Untuk diketahui, lokasi situs sangat dekat dengan Patahan Cimandiri.

Lebih jauh lagi, ia menambahkan, situs sejarah yang dianggap banyak arkeologi penelitiannya sudah 'selesai' seperti Trowulan ternyata masih menyimpan banyak misteri sejarah yang terpendam di bawahnya.  "Hal itu hanya dapat terkuak oleh metoda "arkeo-geologi"," kata dia.

Demikian juga banyak situs yang terlihat menyembul hanya beberapa meter di permukaan dan oleh para ahli arkeologi hanya dikuak 1-2 meter saja ternyata menyimpan tubuh bangunan sampai kedalaman 15 meter bahkan lebih. Yang  mungkin menyimpan misteri sejarah peradaban kuno yang berlapis-lapis.

Kembali ke Gunung Padang, Andi mengatakan, situs itu tidak sesederhana yang diketahui orang kebanyakan, tak sekedar tumpukan batu purba zaman Megalitikum. "Tapi sangat luar biasa.  Di bawah situs yang terlihat di puncak bukit ternyata ada struktur bangunan, paling tidak, sampai kedalaman 20 meter dari puncak seperti yang terlihat dari geolistrik dan georadar dan sudah diverifikasi oleh data pemboran," kata dia.

Dari data geolistrik, diduga kuat bahwa struktur bangunan ini sampai memenuhi seluruh bukit. "Dari puncak hingga level tempat parkir, atau kurang lebih 100 meter tingginya."

Hasil penelitian sementara Gunung Padang, Andi Arief menambahkan, menunjukkan bahwa peradaban Indonesia pada masa 4.700 Sebelum Masehi sudah demikian tinggi. "Ini adalah bukti nyata yang pertamakalinya ditemukan di Indonesia.  Hal ini diharapkan menjadi pionir untuk menguak masa prasejarah Indonesia yang selalu diasumsikan primitif itu oleh banyak orang termasuk para ahli arkeologi."

Temuan di Gunung Padang juga sejalan dengan hasil riset ahli genetika, Stephen Oppenheimer bahwa Bangsa Nusantara sejak sebelum 10.000 tahun lalu merupakan pusat teknologi pertanian, peternakan, dan pelayaran untuk wilayah Asia-Pasifik, dan bahkan dunia.

Selain Gunung Padang, tim juga menemukan anomali di Gunung Sadahurip atau Gunung Putri. Bahwa apa yang nampak sebagai gunung atau bukit alami sejatinya diduga sebagai bangunan buatan manusia. "Ada kesamaan karakter dan geometri dari struktur resistivity Gunung Sadahurip dan Gunung Padang, selain banyak fenomena unik di Sadahurip yang sukar untuk dijelaskan oleh proses dan bentukan geologi," kata Andi Arief.

Hasil geolistrik superstring menunjukan, ada kesamaaan pola struktur umum antara Sadahurip dan Gunung Padang: bagian atasnya 'bertopi merah", di bawahnya si biru yang di alasi oleh cawan merah.  "Oleh karena itu penelitian di sadahurip perlu dilanjutkan ke pengeboran untuk memperoleh hasil yang baik," kata Andi Arief. (umi)

Jumat, 23 Maret 2012

Ini Dia!! Megalith “Gunung Padang” Jabar, “Stone Henge” Versi Indonesia (Bagian II)



Situs megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geologi sebab ia dibangun dengan memanfaatkan sebuah bukit punggungan/ puncak lava andesit basaltik dan lava basaltik berumur Pliosen (2,1 juta tahun, lihat peta geologi lembar Cianjur – dipetakan oleh Mang Okim, 1973, direvisi 2003 dan lembar Sindangbarang) yang terbuat dari tiang-tiang batuan andesit dan basal yang telah terlepas secara alami karena retakan oleh pendinginan lava (kekar tiang, columnar jointing). Batu-batu tiang ini kemudian ditambang oleh manusia pada zaman itu untuk membangun punden berundak-undak.
Situs megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geomantik untuk tujuanreligiositas berupa penyembahan Sang Hyang atau sang penguasa alam saat yang oleh manusia pada masa itu diyakini bermukim di puncak Gunung Gede.
Gunung dalam kosmologi agama purba Jawa adalah personifikasi pemberi dan pengambil (Magnis-Suseno, 2006). Ia pemberi kesuburan tanah yang menumbuhkan tanaman untuk dimakan, tetapi ia juga adalah sang pengambil yang letusannya bisa membinasakan siapa saja. Maka gunung harus disembah agar ia tak marah dan selalu memberi berkah.
Bahwa situs ini dipakai untuk tempat penyembahan dengan orientasi sang penguasa Gunung Gede dibuktikan oleh kelima teras situs ini dari yang paling rendah (teras 1) sampai yang paling tinggi (teras 5) selalu diarahkan ke Gunung Gede yang posisinya berada pada arah azimut rata-rata 336,40 ° UT.
Pembangunan situs ini juga, terutama di teras 1 telah cukup memperhatikan masalah kelabilan area ini yaitu dengan cara menyusun tiang-tiang batu secara mendatar dan saling menumpuk untuk penguatan.
Dalam hubungannya dengan penyembahan, situs ini pun dapat dibangun untuk maksud agar manusia dijauhkan dari bencana gempa atau gunung api yang memang sumber-sumbernya tidak jauh dari Gunung Padang.
Teras-1, terdapat batu-batu berwarna abu-abu berbentuk kolom yang masih tersusun rapi membentuk ruang persegi panjang. Batu-batuan di Gunung Padang adalah batuan jenis andesit basaltis yang merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala pada jaman Pleistosen Awal, sekitar 2 - 1 juta tahun yang lalu. Karena pengaruh proses alam, batu-batuan ini membentuk dirinya menjadi kolom-kolom poligonal segi empat, lima, enam, delapan, yang permukaannya sangat halus sehingga banyak orang yang mengira batu-batuan ini merupakan hasil karya tangan manusia jaman dahulu. (courtesy: Cornel Aji) 
Di teras 2 terdapat dua menhir dan satu dolmen kecil yang kelihatannya dipakai untuk duduk, dan itu tepat mengarah ke puncak Gunung Gede. Arah azimut rata-rata ini pun membentuk kelurusan dengan semua bukit/gunung yang ada di sekitar Gunung Padang yaitu : Pasir Pogor, Gunung Kancana, Gunung Gede, Gunung Pangrango.
Situs Gunung Padang pun secara geologi berada pada area yang secara kegempaan cukup aktif, yaitu tidak jauh dari Sesar Cimandiri. Sesar Cimandiri adalah sesar besar yang memanjang dari Teluk Pelabuhanratu sampai sekitar Padalarang.
Bila ada pengaktifan gaya geologi di sekitar Teluk Pelabuhanratu atau Jawa Barat Selatan, maka sesar ini sering menjadi media penerus gaya goncangan gempa. Beberapa menhir yang terguling dan patah di area situs ini diperkirakan diakibatkan gempa.
Teras-2, Megalith Padang Hills Gunung Padang West Java Indonesia 
Tidak seperti banyak situs megalitikum lainnya (seperti Piramida, Stonehenge, Machu Picchu) yang dibangun untuk menyembah atau mengindahkan (dewa) Matahari, situs Gunung Padang dibangun untuk diorientasikan seluruhnya kepada Gunung Gede.
Ini nampak dari pola bangunan punden berundaknya yang asimetris, tidak dibangun simetris ke semua sisi seperti Candi Borrobudur, tetapi hanya ke satu sisi, yaitu Gunung Gede. Dengan demikian, Gunung Gede menempati posisi geomantik yang sangat kuat bagi situs Gunung Padang.
Gunung Padang Sound Stone. Saat dipukul, batu megalitik ini dapat mengeluarkan nada tertentu.
Yang unik dari situs megalitik Gunung Padang adalah ditemukannya bilah-bilah batuan yang diperuntukkan sebagai alat musik. Ini adalah penemuan pertama di Indonesia.
Dahlan dan Situngkir (2008) dari Bandung Fe Institute berbekal alat perekam dan analisis Fourier transform pernah meneliti musikologi situs ini dan menyimpulkan bahwa terdapat tiga bilah batu yang bisa mengeluarjan nada musik dengan dentingan (pitch) berfrekuensi dari 2600-5200 kHz selaras dengan nada-nada f”’, g”’, d”’, a”’.
Jika batu basal kecil dipukul-pukulkan ke alat musik batu ini, maka akan terdengar dentingan yang tinggi dan teratur dari batu ini. Dapat dibayangkan bahwa manusia pada zaman dahulu ini melakukan penyembahan dengan iringan musik-musik batu. Menurut cerita, konon penduduk kampung di bawah situs ini masih suka mendengarkan riuh musik dari bukit ini pada malam-malam tertentu. 
Secara astronomis, situs Gunung Padang pun mempunyai harmoni dalam naungan bintang-bintang di langit. Analisis astronomi menggunakan program ‘planetarium’menunjukkan bahwa posisi situs ini pada pada masa prasejarah (pemrograman dilacak sampai ke tahun 100 M) berada tepat di bawah bagian tengah lintasan padat bintang di langit berupa jalur Galaksi Bima Sakti.
Dan, lokasi situs Gunung Padang pun di sisi atas dan bawah kaki langitnya masing-masing ‘dikawal’ oleh dua rasi yang merupakan penguasa dunia bawah (Bumi) yaitu rasi Serpens(ular) dan dunia atas (Langit) yaitu rasi Aquila (elang). Secara kosmologis, para pembangun situs ini telah memperhatikan tata langit di atasnya.
Bila situs ini benar dibangun pada masa prasejarah, pembangunannya adalah ras Austronesia yang merupakan pendatang pertama di Indonesia. Mereka melintasi Nusantara dari tanah asalnya dengan cara berlayar, dan penguasaan ilmu perbintangan/falak adalah salah satu hal mutlak dalam pelayaran antarpulau. Mungkin juga bahwa situs ini digunakan untuk menjadi tempat pengamatan bintang pada masa lalu.
Situs Gunung Padang ini adalah situs prasejarah megalitik yang menurut beberapa sumber merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara, bahkan di Asia – Pasifik!
Tak disangka situs yang terletak di Kabupaten Cianjur, ternyata sarat makna yang melibatkan faktor geologi, arkeologi, religiusitas, dan astronomi yang dibangun dalam harmoni bumi dan langit.
Begitu hebatnya nenek moyang bangsa Indonesia dimasa lalu hingga situs berharga ini bagaikan dunia yang hilang lalu ditemukan dan kini mulai diselidiki.(geologi.iagi.or.id/kaskus.us/icc.wp.com)





Misteri Batu Megalith “Gunung Padang” di Jawa Barat, “Stone Henge” Versi Indonesia (Bagian I)



“Situs Gunung Padang, situs prasejarah megalitik yang menurut beberapa sumber merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara, terletak di Kabupaten Cianjur, ternyata sarat makna yang melibatkan faktor geologi, arkeologi, religiusitas, dan astronomi yang dibangun dalam harmoni bumi dan langit.”

Type of research  : Geology & Archeology
Search research    : The Indonesian Megaliths
Location                    : Cianjur region, West Java Province.
Sub Location          : Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka.
Village                         : Antara Dusun Gunungpadang & Panggulan.
Coordinate              : 6°59’36.9035”S – 107°3’22.6264”E

Kalau Inggris punya Stone Henge, Perancis punya batu batu Carnac, Laos punya batu batu Guci dan Mikronesia punya Nan Madol, maka Indonesia juga punya situs megalitikum Gunung Padang, yang berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Wilayah ini bukan berada di Sumatera Barat namun ada di Jawa Barat. Dinamakan Gunung Padang, berdasarkan kata “padang” berasal dari beberapa suku kata, yaitu :
-Pa = Tempat
-Da = Besar/gede/agung/raya
-Hyang =Eyang/moyang/biyang/leluhur agung
Jadi arti kata “Padang” itu adalah Tempat Agung para Leluhur atau boleh jadi maknanya Tempat para Leluhur Agung.
Situs Megalitikum Gunung Padang diperkirakan dibangun pada 2000 SM atau sekitar 2.800 tahun sebelum Candi Borobudur dibangun.
Anak tangga asli dari batu-batu prasejarah menuju puncak gunung padang, sekarang sudah dibuat lagi alternatif untuk naik ke puncak dengan akses yang lebih landai. (courtesy: Cornel Aji)
Situs Gunung Padang terletak di puncak sebuah bukit, untuk mencapainya dari dasar, pengunjung harus meniti tangga curam setinggi -+ 95 meter terbuat dari tiang-tiang batuan andesit sebanyak hampir 400 anak tangga.
Luas kompleks “bangunan” kurang lebih 900 m². Penduduk setempat mengaitkannya dengan Prabu Siliwangi, meskipun sebenarnya situs tersebut jauh lebih tua dari  buyutnya Siliwangi itu sendiri.
Situs Gunung Padang merupakan Punden Berundak yang tidak simetris, berbeda dengan punden berundak simetris seperti Borobudur, juga berbeda dengan punden berundak simetris lainnya yang ditemukan di Jawa Barat seperti situs Lebak Sibedug di Banten Selatan.
Sebuah punden berundak tidak simetris menunjukkan bahwa pembangunan punden ini mementingkan satu arah saja ke mana bangunan ini menghadap.
Lokasi situs Gunung Padang berada di titik 06°59,522′ LS dan 107°03,363 BT. Situs Gunung Padang terdiri atas lima teras (tingkatan). Dasar situs terdapat di ketinggian 894 m dpl, data setiap teras adalah sebagai berikut:
1. Teras pertama berada pada ketinggian 983 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 335° UT,
2. Teras kedua berada pada ketinggian 985 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 337° UT,
3. Teras ketiga berada pada ketinggian 986 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 335° UT,
4. Teras keempat berada pada ketinggian 987,5 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 330° UT,
5. Teras kelima berada pada ketinggian 989 m dpl, arah teras menghadap ke azimut 345° UT.
Penampang atas Gunung Padang
Berdasarkan data di atas, tinggi punden berundak situs Gunung Padang adalah 95 meter dengan arah utama teras menuju utara baratlaut dengan rata-rata azimut 336,40 ° UT.
Seluruh teras situs Gunung Padang ini mengarah kepada Gunung Gede (2950 m dpl) yang terletak sejauh sekitar 25 km dari situs ini.
Bahan bangunan pembuat situs adalah batu-batu besar andesit, andesit basaltik, dan basal berbentuk tiang-tiang dengan panjang dominan sekitar satu meter berdiameter dominan 20 cm.
Tiang-tiang batuan ini mempunyai sisi-sisi membentuk segibanyak dengan bentuk dominan membentuk tiang batu empat sisi (tetragon) atau lima sisi (pentagon).
Setiap teras mempunyai pola-pola bangunan batu yang berbeda-beda yang ditujukan untuk berbagai fungsi. Teras pertama merupakan teras terluas dengan jumlah batuan paling banyak, teras kedua berkurang jumlah batunya, teras ke-3 sampai ke-5 merupakan teras-teras yang jumlah batuannya tidak banyak.
Situs Gunung Padang pertama kali dilaporkan keberadaannya oleh peneliti kepurbakalaan zaman Belanda: N.J. Krom. Laporan pertama tentang Gunung Padang muncul dalam laporan tahunan Dinas Purbakala Hindia Belanda tahun 1914 (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie).
N.J. Krom tidak melakukan penelitian mendalam atasnya, hanya menyebutkan bahwa situs ini diperkirakannya sebagai sebuah kuburan purbakala. Situs ini kemudian dilaporkan kembali keberadaannya pada tahun 1979 oleh penduduk setempat kepada pemilik kebudayaan dari pemerintah daerah.
Sejak itu, situs ini telah diteliti cukup mendalam secara arkeologi meskipun masih menyisakan berbagai kontroversi. Para ahli arkeologi sepakat bahwa situs ini bukan merupakan sebuah kuburan seperti dinyatakan oleh Krom (1914), tetapi merupakan sebuah tempat pemujaan.
Pengamatan di lapangan; pengukuran posisi, ketinggian dan azimut setiap teras, pengolahan data posisi situs menggunakan program astronomi (arkeoastronomi), memperhatikan semua keterangan para interpreter serta diskusi-diskusi para ahli telah membawa kepada sebuah kesimpulan yang pada intinya adalah bahwa situs megalitikum Gunung Padang adalah sebuah situs megalitikum prasejarah yang dibangun untuk keperluan penyembahan dan dibangun pada posisi yang telah memperhatikan geomantikdan astromantik.
Tentang umurnya, ada yang berpendapat bahwa situs ini dibangun pada masa Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda sekitar abad ke-15 karena ditemukan guratan senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu.
Tetapi para ahli arkeologi berpendapat bahwa situs ini umurnya adalah 1500 tahun sebelum Masehi (SM), berdasarkan bentuk monumental megalit dan catatan perjalanan seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda, Bujangga Manik, yang semasa dengan Prabu Siliwangi, menulis bahwa situs ini sudah ada sebelum Kerajaan Sunda.
Dan, tidak mungkin Bujangga Manik tidak tahu kalau situs ini dibangun oleh Kerajaan Sunda sebab ia pun seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda. Tidak ditemukannya artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu menyulitkan penentuan umur situs ini. Kebanyakan artefak megalitik di Indonesia dan Asia Tenggara ditemukan pada saatKebudayaan Dongson (500 SM) berlangsung (Sukmono, 1977, 1990).