Jumat, 23 Maret 2012

Ini Dia!! Megalith “Gunung Padang” Jabar, “Stone Henge” Versi Indonesia (Bagian II)



Situs megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geologi sebab ia dibangun dengan memanfaatkan sebuah bukit punggungan/ puncak lava andesit basaltik dan lava basaltik berumur Pliosen (2,1 juta tahun, lihat peta geologi lembar Cianjur – dipetakan oleh Mang Okim, 1973, direvisi 2003 dan lembar Sindangbarang) yang terbuat dari tiang-tiang batuan andesit dan basal yang telah terlepas secara alami karena retakan oleh pendinginan lava (kekar tiang, columnar jointing). Batu-batu tiang ini kemudian ditambang oleh manusia pada zaman itu untuk membangun punden berundak-undak.
Situs megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geomantik untuk tujuanreligiositas berupa penyembahan Sang Hyang atau sang penguasa alam saat yang oleh manusia pada masa itu diyakini bermukim di puncak Gunung Gede.
Gunung dalam kosmologi agama purba Jawa adalah personifikasi pemberi dan pengambil (Magnis-Suseno, 2006). Ia pemberi kesuburan tanah yang menumbuhkan tanaman untuk dimakan, tetapi ia juga adalah sang pengambil yang letusannya bisa membinasakan siapa saja. Maka gunung harus disembah agar ia tak marah dan selalu memberi berkah.
Bahwa situs ini dipakai untuk tempat penyembahan dengan orientasi sang penguasa Gunung Gede dibuktikan oleh kelima teras situs ini dari yang paling rendah (teras 1) sampai yang paling tinggi (teras 5) selalu diarahkan ke Gunung Gede yang posisinya berada pada arah azimut rata-rata 336,40 ° UT.
Pembangunan situs ini juga, terutama di teras 1 telah cukup memperhatikan masalah kelabilan area ini yaitu dengan cara menyusun tiang-tiang batu secara mendatar dan saling menumpuk untuk penguatan.
Dalam hubungannya dengan penyembahan, situs ini pun dapat dibangun untuk maksud agar manusia dijauhkan dari bencana gempa atau gunung api yang memang sumber-sumbernya tidak jauh dari Gunung Padang.
Teras-1, terdapat batu-batu berwarna abu-abu berbentuk kolom yang masih tersusun rapi membentuk ruang persegi panjang. Batu-batuan di Gunung Padang adalah batuan jenis andesit basaltis yang merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala pada jaman Pleistosen Awal, sekitar 2 - 1 juta tahun yang lalu. Karena pengaruh proses alam, batu-batuan ini membentuk dirinya menjadi kolom-kolom poligonal segi empat, lima, enam, delapan, yang permukaannya sangat halus sehingga banyak orang yang mengira batu-batuan ini merupakan hasil karya tangan manusia jaman dahulu. (courtesy: Cornel Aji) 
Di teras 2 terdapat dua menhir dan satu dolmen kecil yang kelihatannya dipakai untuk duduk, dan itu tepat mengarah ke puncak Gunung Gede. Arah azimut rata-rata ini pun membentuk kelurusan dengan semua bukit/gunung yang ada di sekitar Gunung Padang yaitu : Pasir Pogor, Gunung Kancana, Gunung Gede, Gunung Pangrango.
Situs Gunung Padang pun secara geologi berada pada area yang secara kegempaan cukup aktif, yaitu tidak jauh dari Sesar Cimandiri. Sesar Cimandiri adalah sesar besar yang memanjang dari Teluk Pelabuhanratu sampai sekitar Padalarang.
Bila ada pengaktifan gaya geologi di sekitar Teluk Pelabuhanratu atau Jawa Barat Selatan, maka sesar ini sering menjadi media penerus gaya goncangan gempa. Beberapa menhir yang terguling dan patah di area situs ini diperkirakan diakibatkan gempa.
Teras-2, Megalith Padang Hills Gunung Padang West Java Indonesia 
Tidak seperti banyak situs megalitikum lainnya (seperti Piramida, Stonehenge, Machu Picchu) yang dibangun untuk menyembah atau mengindahkan (dewa) Matahari, situs Gunung Padang dibangun untuk diorientasikan seluruhnya kepada Gunung Gede.
Ini nampak dari pola bangunan punden berundaknya yang asimetris, tidak dibangun simetris ke semua sisi seperti Candi Borrobudur, tetapi hanya ke satu sisi, yaitu Gunung Gede. Dengan demikian, Gunung Gede menempati posisi geomantik yang sangat kuat bagi situs Gunung Padang.
Gunung Padang Sound Stone. Saat dipukul, batu megalitik ini dapat mengeluarkan nada tertentu.
Yang unik dari situs megalitik Gunung Padang adalah ditemukannya bilah-bilah batuan yang diperuntukkan sebagai alat musik. Ini adalah penemuan pertama di Indonesia.
Dahlan dan Situngkir (2008) dari Bandung Fe Institute berbekal alat perekam dan analisis Fourier transform pernah meneliti musikologi situs ini dan menyimpulkan bahwa terdapat tiga bilah batu yang bisa mengeluarjan nada musik dengan dentingan (pitch) berfrekuensi dari 2600-5200 kHz selaras dengan nada-nada f”’, g”’, d”’, a”’.
Jika batu basal kecil dipukul-pukulkan ke alat musik batu ini, maka akan terdengar dentingan yang tinggi dan teratur dari batu ini. Dapat dibayangkan bahwa manusia pada zaman dahulu ini melakukan penyembahan dengan iringan musik-musik batu. Menurut cerita, konon penduduk kampung di bawah situs ini masih suka mendengarkan riuh musik dari bukit ini pada malam-malam tertentu. 
Secara astronomis, situs Gunung Padang pun mempunyai harmoni dalam naungan bintang-bintang di langit. Analisis astronomi menggunakan program ‘planetarium’menunjukkan bahwa posisi situs ini pada pada masa prasejarah (pemrograman dilacak sampai ke tahun 100 M) berada tepat di bawah bagian tengah lintasan padat bintang di langit berupa jalur Galaksi Bima Sakti.
Dan, lokasi situs Gunung Padang pun di sisi atas dan bawah kaki langitnya masing-masing ‘dikawal’ oleh dua rasi yang merupakan penguasa dunia bawah (Bumi) yaitu rasi Serpens(ular) dan dunia atas (Langit) yaitu rasi Aquila (elang). Secara kosmologis, para pembangun situs ini telah memperhatikan tata langit di atasnya.
Bila situs ini benar dibangun pada masa prasejarah, pembangunannya adalah ras Austronesia yang merupakan pendatang pertama di Indonesia. Mereka melintasi Nusantara dari tanah asalnya dengan cara berlayar, dan penguasaan ilmu perbintangan/falak adalah salah satu hal mutlak dalam pelayaran antarpulau. Mungkin juga bahwa situs ini digunakan untuk menjadi tempat pengamatan bintang pada masa lalu.
Situs Gunung Padang ini adalah situs prasejarah megalitik yang menurut beberapa sumber merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara, bahkan di Asia – Pasifik!
Tak disangka situs yang terletak di Kabupaten Cianjur, ternyata sarat makna yang melibatkan faktor geologi, arkeologi, religiusitas, dan astronomi yang dibangun dalam harmoni bumi dan langit.
Begitu hebatnya nenek moyang bangsa Indonesia dimasa lalu hingga situs berharga ini bagaikan dunia yang hilang lalu ditemukan dan kini mulai diselidiki.(geologi.iagi.or.id/kaskus.us/icc.wp.com)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar